Thursday 5 May 2011

Cermin Diri - Ajaran para Wali


“Mengenai langkah yang harus dijalani, janganlah kamu berlebihan, hiduplah dengan bersahaja, jangan sombong dalam berbicara, dan jangan berlebihan terhadap manusia. Itulah langkah sempurna yang sejati.Bertapa di gunung atau di gua itu akan menjadikanmu takabur, lakukanlah tapa di tengah ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkanlah orang yang salah" - Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunang Jati

Itulah antara kalimah yang seringkali diucapkan oleh para wali. Amat tertarik untuk umum mengetahui secara mendalam ajaran-ajaran para wali di pulau Jawa. Sebagai contoh, ajaran dari Sunan Bonang yang gemar menciptakan lagu-lagu rakyat di dalam dakwah beliau. Salah satu cara yang amat popular hingga ke hari ini adalah ' Tombo Ati'  (terjemahan dari syair asli berbahasa Jawa):
"Obat hati ada lima perkara.
Yang pertama, baca Qur’an dan maknanya.
Yang kedua, shalat malam dirikanlah.
Yang ketiga, berkumpulah dengan orang saleh.
Yang keempat, perbanyaklah berpuasa.
Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah.
Barang sesiapa yang mampu melaksanakan salah satunya,
semoga Allah memberikan penyembuhnya".

Yang menjadi persoalan, adalah fakta sejarah bahawa para wali itu sebahagian besar dari mereka adalah orang-orang asing @ luar dari Tanah Jawa. Menurut Sudirman Tebba dalam bukunya “Mengenal Wajah Islam yang ramah” (Pustaka Irvan,2007) dan juga "Sajarah Wali"  dalam naskah Mertasinga, kebanyakkan para wali berasal dari tanah Arab dan Campa. Jelas sekali orang-orang asinglah yang khususnya datang dan berkumpul ke pulau Jawa untuk menyebarkan dakwah dan sinar Islam!

Syekh Syarif Hidayatullah sendiri serta Sunan Kudus mempunyai darah Arab. Wali-wali yang lain seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Bonang yang mempunyai hubungan kekeluargaan satu sama lain, merupakan keturunan dari Campa, perdebatan sering merujuk Campa @ Kemboja. Mengapa mereka datang ke pulau Jawa? Begitu juga lebih hebat lagi bagaimana mereka yang berdarah asing itu dapat menanamkan nilai-nilai Islam sesuai dengan nilai dan adat kebudayaan tempatan @ ‘berdakwah dengan “bahasa” penduduk asli?  Ini belum lagi kita menceritakan 'kehebatan' ilmu perang @ persilatan mereka yang dapat menundukkan kekuatan pahlawan-pahlawan dan Raja-raja tempatan yang ada ketika itu. Dari perspektif yang agak berlainan, kalau 'orang asing' dapat mempengaruhi rakyat tempatan dalam mengembang syiar Islam dan menundukkan pemerintah yang sedia ada, mungkinkah juga Tuah  sebagai hulubalang 'asing' sememangnya mampu mengalahkan mana-mana pahlawan yang ada ketika itu tanpa Taming Sari?

8 comments:

salam kekanda megat,
satu isu yg cukup baik utk kita renung2kan
txs for the post

Sekadar untuk bersantai sahaja....no offence to anyone !

terima kasih kekanda panji's amat bermanfaat .

sekadar berkongsi pengetahuan...

tidak juga tuannn.... Rakyat tempatan dapat mereka tundukkan dgn bantuan rakyat tempatan juga..... Paling penting kehalusan dakwah... Dan juga dakwah penuh berhikmah.....

Ini yang sebenarnya. Cara penyampaian serta kewibawaan individu adalah penting.

salam Tuan2 semua......... Wali 9 itu orang asing bagi masyarakat tempatan.... masyarakat Jawa???..... boleh hamba tahu di mana asingnya??...

Memang bukan orang asing jangan salah faham. Yang dimaksudkan oleh penulis ialah mereka yang bukannya 100% Jawa (kerana darah campuran) mempunyai faktor X yang menyatupadukan pendudukan dalam mengembang syiar Islam.

Post a Comment