PUSAKA MPA

Minangkabau

PUSAKA MPA

Urang Awak

PUSAKA MPA

Adat

PUSAKA MPA

Warisan

PUSAKA MPA

Sejarah

Tuesday 30 June 2009

Urang sumando jenis apo kalian?

Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah upacara pernikahan usai diselenggarakan, maka marahpulai/suami tinggal di rumah istrinya. Sungguhpun ia bertempat kediaman di rumah sang isteri, bukan berarti ia menjadi kepala keluarga dirumah isterinya. Dirumah isterinya berkedudukan sebagai semenda (urang sumando), dimana ia memiliki duo local residence, suatu istilah yang diberikan oleh seorang antropolog yang bernama Mordock. Hal ini disebabkan bahwa masing-masing suami isterinya itu tetap berada dalam kaum dan sukunya masing-masing. Pasangan suami isteri yang menikah bukan berarti dengan terjadinya pernikahan, salah satu pihak masuk kedalam suku atau marga pasangannya, seperti yang terjadi pada suku di tanah Batak.

Namun ia tetap berada pada suku dan kaum masing-masing. Untuk menggambarkan bahwa suami tidak langsung seketika masuk dalam keluarga isterinya, maka lazimnya pada masa dahulu, setelah si anak dara melakukan kewajibannya mengantarkan nasi sebagaimana yang telah diulas pada bab Menjalan Mintuo, marahpulai tetap berdiam diri dirumahnya dulu sampai ada pihak anak dara dating menjemput untuk tinggal dirumah anak dara. Pada masa dahulu, marahpulai beberapa setelah pernikahannya berturut dijemput oleh keluarga isterinya agar ia bermalam dirumah isterinya dan pada waktu subuh kembali kerumah orang tuanya. Pola kebiasaan ini merupakan pembelajaran bagi marahpulai, bahwa ia tidak boleh melupakan begitu saja rumah asal/rumah kaum/sukunya.

Bukankah ia semata sebagai tamu abadi dikeluarga isterinya, yaitu orang yang berkedudukan sebagai urang sumando yang dihormati, bagai manatiang air di-dulang. Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun apabila karena kedudukan dan status sosialnya yang kuat, maka ia tidak diperlakukan semena-mena bagai abu diatas tunggul itu.

Bukankah arti menjemput yang diberikan kepadanya menunjukkan bahwa ia sangat dihargai dan dhormati. Oleh karena itu, seandainya ia dihormati namun ia haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bercampur menjadi satu. Oleh karena itulah perlu dilakukan Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang.

Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Sigai mancari anau, Anau tatap sigai baranjak
Datang dek bajapuik
Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang
Basuluah matoari
Bagalanggang mato rang banyak.
Arinya :
Tangga mencari enau
Enau tetap tangga berpindah
Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar
Ayam putih terbang siang
Bersuluh matahari.
Bergelanggang mata orang banyak.

Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya. Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya.

Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh. Kenyataan ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar. Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita.

Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari.

Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri. Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka. Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri.Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada beberapa klasifikasi yang menggambarkan Urang Sumando, antara lain :


1. Urang sumando ninik mamak ; yaitu seseorang yang memperoleh sebutan terhormat karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri.
2. Urang sumando langau hijau (lalat hijau), yaitu sesuai dengan tingkah polah perangai mereka, yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimana-mana.
3. Urang Sumando Kacang Miang”, yaitu urang Sumando” yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya.
Di Minangkabau berlaku pepatah ; '

Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan“.
4. “Urang Sumando Lapiak Buruak (tikar buruk), yaitu, jika seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya.
5. Urang Sumando apak paja”, yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa. Bagi suami atau “Rang Sumando” yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri. Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi “orang pandie” di rumah istrinya.

Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. “Rang Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.

http://www.cimbuak.net/

Halangan kepada Makrifatullah

Ada beberapa perkara yang menghalangi seseorang mengenal Allah, diantaranya :

1. Bersandar kepada panca Indra (2:55, 4:153).

(2:55) Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang [50], kerana itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya [51]".

[50] Maksudnya: melihat Allah dengan mata kepala.

[51] Kerana permintaan yang semacam ini menunjukkan keingkaran dan ketakaburan mereka, sebab itu mereka disambar halilintar sebagai azab dari Tuhan.

(4:153) Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata : "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi [374], sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata.

[374] Anak sapi itu dibuat mereka dari emas untuk disembah.
Mereka tidak beriman kepada Allah dengan dalil tidak melihat Allah, padahal banyak hal yang tidak boleh mereka lihat tetapi mereka meyakini akan keberadaannya seperti; gaya graviti bumi, arus listrik, akal fikiran, dan sebagainya.

2. Kesombongan (7:146).

(7:146) Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku) [569], mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mahu menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah kerana mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
[569] Yang dimaksud dengan ayat-ayat di sini ialah: ayat-ayat Taurat, tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.

Kesombongan menghalangi mereka untuk mengenal Allah, walaupun telah diperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Allah tetapi mereka tetap mengingkari sehingga datang azab Allah.


3. Lengah (21:1-3).

(21:1) Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).

(21:2) Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur'an pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,

(21:3) (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu [952], padahal kamu menyaksikannya?"

[952] Yang mereka maksud dengan sihir di sini ialah ayat-ayat Al Qur'an.

4. Bodoh (2:118).

(2:118) Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.

5. Ragu-ragu (6:109 - 110).

(6:109) Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahawa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu'jizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mu'jizat-mu'jizat itu hanya berada di sisi Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahawa apabila mu'jizat datang mereka tidak akan beriman [497].

[497] Maksudnya: orang-orang musyrikin bersumpah bahawa kalau datang mu'jizat, mereka akan beriman, karena itu orang-orang muslimin berharap kepada Nabi agar Allah menurunkan mu'jizat yang dimaksud. Allah menolak pengharapan kaum mu'minin dengan ayat ini.

(6:110) Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quraan) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.

6. Taqlid (5:104, 43:23).

(5:104) Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.

(43:23) Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".

Mudah-mudahan kita semua menyadari dan terhindar dari sifat-sifat yang dapat menghalangi kita dalam mengenal Allah, amiin.

 

http://jalansufi.com

Monday 29 June 2009

Apakah itu Zikir?

Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Dan dirikanlah sembahyang bagi mengingati Aku! ( Ayat 14 : Surah Taha )

Sembahyang mengandungi perbuatan anggota zahir, perkataan yang dilafazkan dan penyertaan hati yang benar menghadap kepada Allah s.w.t dengan sepenuh jiwa raga. Mengingati Allah s.w.t melalui sembahyang merupakan zikir yang paling sempurna. Perbuatan menjadi zikir, perkataan menjadi zikir dan perasaan menjadi zikir. Sekalian maujud berada dalam suasana zikir. Zikir dalam sembahyang menggabungkan pengakuan bahawa yang diingatkan itu adalah Allah s.w.t; bahawa Allah s.w.t yang diingati itu adalah Tuhan; bahawa tiada Tuhan melainkan Dia; bahawa Allah adalah Tuhan yang disembah; bahawa menyembah Allah s.w.t adalah dengan perkataan, perbuatan dan perasaan; bahawa apa sahaja yang dilakukan adalah kerana mentaati-Nya dan kerana ingat kepada-Nya.

Zikir yang di dalam sembahyang menjadi induk kepada zikir-zikir di luar sembahyang. Menyebut nama-nama Allah s.w.t adalah zikir. Perkataan yang baik-baik diucapkan kerana Allah s.w.t adalah zikir. Nasihat menasihati kerana Allah s.w.t adalah zikir. Menyeru manusia ke jalan Allah s.w.t adalah zikir. Semua itu merupakan zikir perkataan. Zikir perbuatan pula meliputi segala bentuk amalan dan kelakukan yang sesuai dengan syarak demi mencari keredaan Allah s.w.t. Berdiri, rukuk dan sujud dalam sembahyang adalah zikir. Melakukan pekerjaan yang halal kerana Allah s.w.t, kerana mematuhi peraturan yang Allah s.w.t turunkan, adalah zikir. Mengalihkan duri dari jalan kerana Allah s.w.t adalah zikir. Apa juga perbuatan yang tidak menyalahi peraturan syariat jika dibuat kerana Allah s.w.t maka ia menjadi zikir. Tidak melakukan apa-apa pun boleh menjadi zikir. Orang yang menahan anggotanya, lidahnya dan hatinya daripada menyertai perbuatan maksiat sebenarnya melakukan zikir jika dia berbuat demikian kerana Allah s.w.t. Semua itu menjadi zikir jika dibuat kerana Allah s.w.t, kerana mematuhi perintah-Nya, kerana mencari keredaan-Nya dan kerana ingat kepada-Nya. Jadi, perbuatan dan perkataan terikat dengan amalan hati untuk menjadikannya zikir. Ia hanya dikira sebagai zikir jika ada zikir hati iaitu hati ingat kepada Allah s.w.t, ikhlas dalam melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya Tanpa zikir hati tidak ada zikir-zikir yang lain, kerana setiap amalan digantungkan kepada niat yang lahir dalam hati.

Zikir adalah mengingati Allah s.w.t sebaik dan seikhlas mungkin. Mengingati nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah zikir. Melihat matahari, bulan dan bintang di langit sambil mengenang kebijaksanaan Allah s.w.t merupakan zikir. Melihat kilat memancar dan mendengar guruh berdentum sambil mengenangkan keperkasaan Allah s.w.t adalah zikir. Melihat fajar subuh, melihat dan mencium bunga yang indah lagi harum sambil mengenang keelokan Allah s.w.t adalah zikir juga namanya. Jadi, zikir adalah pekerjaan sepanjang masa, setiap ketika, semua suasana, pada setiap sedutan dan hembusan nafas dan pada setiap denyutan nadi. Kehidupan ini merupakan zikir daim (zikir berkekalan) jika mata hati sentiasa memerhatikan sesuatu tentang Allah s.w.t.

Kehidupan yang Sederhana - Syaikh Muhammad Nazhim Adil al Haqqani

Part 1

Kalian dapat saja meraih kesempatan lebih untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan dari hasrat kalian. Namun seiring dengan bertambahnya kesempatan itu, maka meningkat pula beban yang harus kalian tanggung. Kalian hendaknya mencoba mencari cara untuk menjadi orang yang sederhana dalam hidup kalian, dengan cara hidup yang mudan dan beban yang ringan. Bila kalian sederhana, hidup kalian tidak akan rumit.

Kesederhanaanlah yang terbaik bagi hidup seseorang karena menjadikan orang menyatu dengan alam. Semakin banyak orang meninggalkan alam, makin banyak pula mereka tertimpa kesulitan. Bila kalian ramah terhadap alam, tubuh kalian akan merasakan kenyamanan dan kedamaian. Lalu jiwa kalian akan jauh lebih nyaman.."Saya heran pada manusia, mereka dapat memperoleh hidup yang manis dan nikmat, tetapi mereka malah memilih kehidupan yang sukar dan hambar..."

Part II

Dan barangsiapa yang buta di sini, maka di akhirat pun dia buta dan lebih sesatlah jalannya.
( Ayat 72 : Surah al-Isra' )

Bukan buta mata di kepala tetapi buta mata pada hati. Jika ketika hidup di dalam dunia tidak menemui jalan kembali kepada Tuhan, sesudah matinya pun tidak menemui jalan. Kesesatan jalan di akhirat lebih menggerunkan daripada buta mata di dunia. Apa juga yang manusia mahu usahakan maka dunia inilah kebunnya. Kehidupan dalam dunia inilah yang menentukan nasib manusia ketika sakratul maut, dalam alam kubur, di Padang Mahsyar, di Hisab, di atas jambatan menyeberangi neraka dan pada kehidupan yang abadi. Perbezaan di antara dunia dan akhirat hanya satu sahaja, iaitu di akhirat ada peluang untuk melihat Tuhan secara terang-terangan, sementara di dunia melihat Tuhan melalui hijab-hijab. Urusan Islam, iman, tauhid dan makrifat selesai di dalam dunia ini juga. Apa yang diperolehi di dunia ini itulah yang akan dibawa ke akhirat.


Panglima Lidah Hitam - Pandeka Minang

Panglima Lidah Hitam atau nama sebenarnya Baginda Zahiruddin dipercayai berasal dari Padang Pariaman, Minangkabau, Sumatera, Indonesia. Menurut sejarah, beliau adalah orang pertama memperkenalkan silat Lintau di Indonesia dan seterusnya di Semenanjung Tanah Melayu pada abad ke-16.

Ketika dalam perjalanan ke Makkah untuk menunaikan haji, beliau singgah di Padang (nama asal kawasan Parit Sakai hingga ke Parit Jamil). Disebabkan cuaca buruk, beliau tinggal agak lama di Padang sementara menanti perubahan musim angin yang lebih baik sebelum meneruskan pelayaran. Di Padang, beliau bertemu Orang Kaya Bauk, pemerintah Padang ketika itu. Orang Kaya Bauk meminta pertolongannya mengajar seni silat Lintau kepada anak muda di kawasan itu kerana kemahiran beliau dalam seni mempertahankan diri.

Secara kebetulan, pada masa itu lanun bermaharajalela di Selat Melaka. Orang Kaya Bauk meminta bantuan Panglima Lidah Hitam untuk menghapuskan ancaman lanun yang dikatakan mengganggu aktiviti penduduk setempat. Pada 1716, satu pertempuran hebat berlaku di muara Sungai Muar antara angkatan Padang dengan kumpulan lanun yang berlanjutan selama beberapa hari. Akhirnya angkatan Padang berjaya menumpaskan sebahagian besar kumpulan lanun terbabit.

Kejayaan itu tidak sempat diraikan Panglima Lidah Hitam apabila kapal yang dinaikinya karam selepas diserang saki baki kumpulan lanun berkenaan. Beliau dan beberapa pengiringnya lemas, namun kematiannya tidak disedari pengikutnya yang ketika itu sedang bertempur untuk menghapuskan saki baki lanun. Sehinggalah selepas beberapa hari tamat bertempur, seorang penduduk Parit Sakai ternampak dua mayat terapung dan tersangkut pada pokok Tuak di kuala parit berkenaan. Oleh kerana pada masa itu senja, mayat itu dibiarkan tanpa diusik.

Keesokan harinya, barulah penduduk kampung datang mengambil mayat terbabit ke darat. Satu daripada mayat itu mempunyai lidah yang panjang berwarna hitam dan berbulu. Anehnya mayat ini tidak busuk dan reput walaupun sudah beberapa lama berada di dalam laut. Jenazah berlidah hitam itu dimakamkan di tepi Parit Sakai. Difahamkan, selepas dimakamkan, satu perkara ganjil berlaku pada keesokannya. Penduduk mendakwa satu tumbuhan batu timbul di atas kedudukan kepala makam berkenaan yang berbentuk lidah dan berwarna hitam cerah. Sebelum ini, penduduk dikatakan meletakkan batu nisan kayu di kepala makam tetapi dilaporkan hilang dan tumbuh pula batu di tempat sama.

Apabila malam bulan purnama, batu itu akan bertukar warna menjadi hitam pekat. Disebabkan keganjilan yang berlaku di makam itu, ia dianggap keramat oleh penduduk dan dipanggil Keramat Lidah Hitam? Penduduk dikatakan membalut kain kuning pada batu yang berbentuk lidah itu sebagai menghormati sumbangannya kepada penduduk setempat dalam mengekalkan keamanan.

http://malay.cari.com.my/archiver/?tid-340836.html

Ubekkan Denai - senikata

Ubekkan denai…
Sakiknyo putuih dalam bacinto

Cari kan ubek tujuah ramuan
Sarupo cincin nan balah rotan
Cincin lah lakek di jari tuan
Di jari manih tuan pasangkan

Ubekkan denai, ubekkan denai
Batambah kuruih badan nan jadi
Tamukan denai, suokan denai
Basuo mangko sanang dihati

Cincin siapo nan tuan pakai
Denai nan indak di bari tahu
Lah tujuah tahun janji kok ungkai
Bakeh siapo denai mengadu

Ubekkan denai
Sakiknyo putuih dalam bacinto

(Ciptaan Masroel Mamuja, Dipopulerkan oleh Lily Syarif dan Elly Kasim)

Suku Jambak - Sejarah ringkas

SEJARAH RINGKAS DATUK RANGKAYO BASA DI KANAGARIAN TIKU

Menurut silsilah (ranji), kaum keturunan Datuk Rangkayo Basa (DRB) di Kanagarian Tiku berasal dari sebuah perkampungan kaum suku Jambak bernama Galo Gandang di Tanah Data. Salah seorang dari kaum ini, pada masa yang tidak teridentifikasi, merantau ke pesisir barat bernama Puti Sanang Hati dengan membawa empat orang anaknya, tiga perempuan dan seorang laki-laki. Anak yang pertama bernama Puti Ambat, yang kedua bernama Puti Langgam, yang ketiga adalah laki-laki yang bernama Sutan Mara Basa, serta yang bungsu bernama Puti Manis. Menurut ranji yang saat ini masih disimpan oleh kaum keluarga DRB di Galo Gandang Tanah Data, Puti Sanang Hati mempunyai empat orang anak, namun nama anak-anak tersebut tidak disebutkan karena ranji mereka putus sampai Puti Sanang Hati saja, namun hanya tertera bahwa Puti Sanang Hati memiliki empat orang anak, satu diantaranya adalah laki-laki.

Dalam dalam ranji keluarga DRB di Tiku, nama-nama kaum keluarga ini tercatat dengan baik. Sehingga singkatnya untuk menjaga tali hubungan darah ini tidak putus, maka pada masa itu DRB pun dilewakan di nagari rantau pesisir ini. Sutan Mara Basa sebagai satu-satu anak lelaki dalam kaum ini dilewakan gelar Datuk Rangkayo Basa. Karena ciri-ciri dari Sutan Mara Basa ini orangnya tinggi berdada cekung, maka beliau juga disebut oleh orang sebagai Datuk Rangkayo Basa nan Cakuang Dado (Di samping tersebutkan pada ranji, tanda kebenaran kaum keturunan ini berasal dari kaum keluarga Jambak Galo Gandang Tanah Data dapat dilihat pada pandam pekuburan kaum Jambak di Jawi-jawi Tiku yang batu nisannya berasal dari kerajinan Galo Gandang Tanah Data. Menurut kisah yang siriwayatkan oleh para tuo-tuo kaum suku jambak, Sutan Mara Basa bergelar datuk Rangkayo Basa (nan cakuang dado) terkenal karena berbagai keistimewaan yang dimilikinya sehingga hal ini membuatnya sangat disegani di dalam dan di luar nagari Tiku.

Sehingga selain gelar Datuk Rangkayo Basa merupakan gelar sako kaum jambak juga merupakan gelar pemimpin dalam kanagarian Tiku yang menaungi suku-suku lainnya di kanagarian Tiku. Hal ini terlihat dari kepemimpinan-pemimpin penyandang gelar sako DRB di Tiku yang semuanya merupakan wali nagari kanagarian Tiku. Ranji DRB di kanagarian Tiku (pesisir barat) yang asli dibuat dalam tulisan arab, sama halnya dengan ranji yang asli yang ada di tangan kaum kelurga DRB di Galo Gandang Tanah Data. Kemudian oleh salah seorang cucu kemenakan St Mara Basa Datuk Rangkayo Basa yang bernama Haji Abdul Wahab atau Buyuang Enek (bergelar Sutan Badar Alam), ranji bertulisan arab ini dibuatkan ke dalam bahasa latin (Indonesia), sementara ranji yang asli bertulisan arab tersebut masih disimpan dengan baik.

Dalam sistem kekerabatan matriakhat di Minangkabau, sako dan pusako diwariskan secara turun temurun menurut garis ibu. Kawasan pusako kaum keluarga suku Jambak ini meliputi daerah Jawi-jawi sampai ke Cacang (Tiku). Demikian pula halnya, ketika Sutan Mara Basa bergelar Datuk Rangkayo Basa memasuki masa purna tugas sebagai pemegang sako tinggi kaum keluarga suku Jambak, maka sako ini pun diteruskan oleh kemenakan dan cucu-cucu kemenakannya yang semuanya juga menjadi pimpinan di kanagarian Tiku. Dalam ranji kaum ini dapat ditemui nama-nama cucu kemenakan yang meneruskan sako kaum ini. Cuku kemenakan yang terakhir memegang gelar sako Datuk Rangkayo Basa ini bernama Sutan Tamin, juga wali nagari Tiku. Namun ketika Sutan Tamin Datuk Rangkayo Basa wafat sekitar tahun 1970, gelar sako ini tidak dapat terselenggarakan lagi dengan baik karena kemenakan yang seharusnya melanjutkan kepemimpinan kaum keluarga, diantaranya H Abdul Wahab bergelar Sutan Badar Alam, berada diperantauan.

Namun agar tanda pusako dan identitas kaum Jambak kanagarian Tiku keturunan kaum keluarga Datuk Rangkayo Basa tidak hilang, semasa hidupnya Sutan Badar Alam telah memugar pandam pakuburan kaum Jambak yang terletak di Simpang Tiga Jawi-jawi Tiku dan bangunan rumah gadang yang teletak di Jawi-jawi (tidak jauh dari pandam pakuburan ini) direhabilitasi dan sebagian tanahnya dijadikan bagunan sebuah mesjid yang bernama Nurul Wahab. Pada pandam pakuburan kaum ini terbaringlah Puti Sanang Hati dan anak-anaknya termasuk Sutan Marah Basa Datuk Rangkayo Basa serta semua generasi kaum suku Jambak kanagarian Tiku kaum keturunan Datuk Rangkayo Basa yang berasal dari Galo Gandang Tanah Data ini.

Sako Datuk Rangkayo Basa sudah tidak dilewakan lagi semenjak meninggal Sutan Tamin sebagai pewaris yang terakhir, walau ada upaya dari berbagai pihak untuk meminjamnya. Di samping itu, berbagai perkembangan situasi politik telah menyebabkan pula berbagai hal terjadi pada gelar sako DRB ini. Datuk Rangkayo Basa boleh tiada, namun semangat dalam membangun kampung dan kaum keluarga seperti yang pernah dilakukan oleh pemangku-pemangku sako Datuk Rangkayo Basa masih melekat di dalam jiwa setiap anggota kaum keluarga, baik yang masih berada di kampung maupun yang di perantauan

http://nanangsarfinal.blogspot.com

 

Surat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani

Sahabat-sahabatku yang dikasihi. Hati kamu adalah seumpama cermin yang berkilat. Kamu mesti membersihkannya daripada debu dan kekotoran yang menutupinya. Cermin hati kamu itu telah ditakdirkan untuk memancarkan cahaya rahsia-rahsia Ilahi.Bila cahaya dari “Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi…” mula menyinari ruang hati kamu, lampu hati kamu akan menyala. Lampu hati itu “berada di dalam kaca, kaca itu sifatnya seumpama bintang berkilau-kilauan terang benderang…” Kemudian kepada hati itu anak panah penemuan-penemuan suci akan hinggap. Anak panah kilat akan mengeluarkan daripada awan petir maksud “bukan dari timur atau barat, dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati…” dan memancarkan cahaya ke atas pokok penemuan, sangat tulen, sangat lutsinar sehingga ia “memancarkan cahaya walaupun tidak disentuh oleh api”. Kemudian lampu makrifat (hikmah kebijaksanaan) akan menyala sendiri. Mana mungkin ia tidak menyala sedangkan cahaya rahsia llahi menyinarinya?

Sekiranya cahaya rahsia Ilahi bersinar ke atasnya, langit malam kepada rahsia-rahsia akan menjadi terang oleh ribuan bintang-bintang “…dan berpandukan bintang-bintang (kamu) temui jalan (kamu)…”. Bukanlah bintang yang memandu kita tetapi cahaya Ilahi. Lantaran Allah menghiaskan langit rendah dengan keindahan bintang-bintang”. Sekiranya lampu rahsia-rahsia Ilahi dinyalakan di dalam diri batin kamu yang lain akan datang secara sekaligus atau beransur-ansur. Sebahagiannya kamu telah ketahui sebahagian yang lain akan kami beritahu di sini. Baca, dengar, cuba fahamkan. Langit ketidaksedaran (kelalaian) yang gelap akan dinyalakan oleh kehadiran Ilahi dan kedamaian serta keindahan bulan purnama yang akan naik dari ufuk langit memancarkan “cahaya di atas cahaya” berterusan meninggi di langit, melepasi peringkat yang ditentukan sebagaimana yang Allah telah tentukan bagi kerajaan-Nya, sehingga ia bersinar penuh kemuliaan di tengah-tengah langit, menghambat kegelapan kelalaian. “(Aku bersumpah) demi malam apabila ia senyap sepi…dengan cuaca pagi yang cemerlang…” malam ketidaksedaran kamu
akan melihat terangnya hari siang. Kemudian kamu akan menghirup air wangi kenangan dan “bertaubat di awal pagi” terhadap ketidaksedaran (kelalaian) dan menyesali umur kamu yang dihabiskan di dalam lena. Kamu akan mendengar nyanyian burung bulbul di pagi hari dan kamu akan mendengarnya berkata: Mereka tidur sedikit sahaja di malam hari dan pada awal pagi mereka memohon keampunan Allah dan Allah bimbingkan kepada cahaya-Nya sesiapa yang Dia kehendaki.

Kemudian kamu akan melihat di ufuk langit peraturan Ilahi akan matahari ilmu batin mula terbit. Ia adalah matahari kamu sendiri, Lantaran kamu adalah “yang Allah beri petunjuk” dan kamu “berada pada jalan yang benar” dan bukan “mereka yang Dia tinggalkan di dalam kesesatan”. Dan kamu akan memahami rahsia: Tidak diizinkan matahari mengejar bulan dan tidak pula malam mendahului siang. Tiap sesuatu berjalan pada landasan (masing-masing).Akhirnya ikatan akan terurai selaras dengan “perumpamaan yang Allah adakan untuk insan dan Allah mengetahui tiap sesuatu”, dan tabir-tabir akan terangkat dan kulit akan pecah, mendedahkan yang seni di bawah pada yang kasar. Kebenaran akan membuka tutupan mukanya.

Semua ini akan bermula bila cermin hati kamu dipersucikan. Cahaya rahsia-rahsia Ilahi akan memancar Padanya jika kamu berhajat dan bermohon kepada-Nya, daripada-Nya, dengan-Nya
 

Rahsia Lok Keris

Dalam seni pembuatan keris melayu, Bilangan Lok keris yang terdapat pada keris dipercayai melambangkan status dan kedudukan pemiliknya yang tertentu.

Berikut adalah lambang tertentu bagi lok keris:

LOK BERMATA LURUS

Melambangkan kesetiaan, ketegasan dan sukar dipengaruhi. Lazimnya lok bermata lurus keris di gunakan sebagai keris adat istiadat.

LOK TIGA - Lazimnya digunakan oleh pahlawan dan panglima.

LOK LIMA - Melambangkan kelancaran bicara pemiliknya dan boleh mempengaruhi orang melalui bicaranya.

LOK TUJUH - Melambangkan wibawa pemiliknya dan berkarisma dalam pemerintahan.

LOK SEMBILAN - Melambangkan pemiliknya bijaksana dan mempunyai sifat kepimpinan tinggi.

LOK SEBELAS - Melambangkan pemiliknya bercita-cita tinggi dalam mengejar kemajuan social dan sesuai dimiliki oleh orang yang telah bekerja dan berumah tangga.

LOK TIGA BELAS - Melambangkan pemiliknya sanggup mempertahankan apa saja yang sudah dimilikinya.

 

Dikatakan lok keris yang melebihi lok tiga belas adalah keris itu tidak sempurna

(http://www.jejariaccess.com)

Sunday 28 June 2009

The Rawa War of 1848

Thomas Braddell in his note on the history of Negeri Sembilan enclosed with SS Despatch to the CO dated 29th December 1874, reveals the involvement of the Rawa (Rao) and Mandailing in the Rawa War of 1848. The latter were in Sungai Ujong (Seremban today) following the wake of the Padri War (1816-1833).

" The Rawa disturbances in 1848 are of sufficient importance to justify a few words giving an account of another and a most serious misfortune to the Sungai Ujong mine.

" The Rawa are an adventurous people with a strong turn for trade, living to the north east of the Pagarooyong (Menangkabowe) district, in the middle of Sumatra. They have long been in the habit of trading to the Peninsula, and have established Colonies in several places, the most important of which was at Pahang, where they almost monopolized the trade. The superiority of these people over the ordinary Malay give rise to jealousies which require them to be on their guard, and to combine for mutual protection, so that when any of the tribe are injured the rest are bound to assist in protecting them, a feature in their character which adds to the dislike of them entertained by the Malays; but being like the Chinese, good colonists, they are allowed to remain in the Malay countries.

" Causes of. - A number of the tribe had settled in Sungei Ujong, and were getting the chief portion of the local trade in their hands where three of them were put to death by the Klana for an alleged offence. The justice of the execution was denied by the trio, and they determined to exact vengeance. Assistance was sent for to Pahang, their head quarters, and open war was declared. This was said to have been the pretext for the war, but the truth probably was, that the many differences and jealousies between the two races had brought matters to such a state that it required very little to bring on a war.

" Result of. - The Rawa proved their individual superiority over the Malays during the war. But being few in numbers and distant from their resources they were at last obliged to retire; and they have not since been allowed to return to the country. The Rawas who are now in Sungei Ujong are said to be Tamoosai Rawas, and do not mix with the others, Rawa Ulu (or up country Rawas); in fact the Tamoosais sided with the Klana."

Here in this passage we have the first mention of the presence of the "Tamoosai" in the Peninsula in the second quarter of the 19th century. There were probably two groups of people from Rao - the Mandailings and the Rao. Rao is the frontier country between Minangkabau and Mandailing. The Rao or "orang Rawa" as they are known in the Peninsula and in East Sumatra. The "Tamoosai Rawas" were Rawa from Tambusai, while Rawa Ulu (or up country Rawas) were probably Mandailing, whose homeland was to the north of Rao. Of course, this does not discount the Tambusai's presence, a distinct group in themselves.

The Mandailing involvement in the "Sungei Ujong" affair was confirmed by J.C. Pasqual who wrote about the episode in 1930s based on an account from "Raja Allang ibni Raja Brayun, who was a Forest ranger of the Ulu Langat district in the late 'eighties (1880's)". He implied that the Mandailings were not on the side of Dato' Klana but against him.

" At this time Raja Brayun, a Mendeleng from Sumatra, invaded Sungei Ujong and attacked Datoh Klana Sendeng, because a friend of Raja Brayun was murdered and Datoh Klana Sendeng refused to pay the blood money of $400 according to 'adat' Malayu. On the side of Raja Brayun there was Panglima Garang and Panglima Si Gara, both 'invulnerable' and fierce warriors, besides 500 fighting men. But he was defeated although he had bribed one of Datoh Klana Sendeng's men with $3,000 to burn the granaries and blow up a powder magazine. Raja Brayun then retired to Recko, a village on the Langat river a short distance upstream from Kajang, and invited Raja Abdulsamad to live with him. He built a stockade at Recko and had a large force of fighting men who lived by robbery and raiding Sakais to sell them into slavery."

Mandailings as well as Rawas raided Orang Asli and sold them into slavery. This is not to say that historically all Mandailings and Rawas were a party to this. Other Mandailings were also noted in British records as having employed Orang Asli

http://www.mandailing.org

Sejarah Rawa/Rao di Tanah Melayu

Sejarah orang Melayu Rao@Rawa bermula di Kecamatan (Daerah Kecil) Rao Mapat Tunggul, di dalam Kabupaten (Daerah) Pasaman, Propinsi (Negeri) Sumatera Barat, Indonesia. Duduk di sebelah utaranya pula, bermastautin suku kaum Mandailing. Pekerjaan utama suku kaum Rao ialah sebagai petani, pedagang, pelombong; dan mahir datam bidang pentadbiran serta kerohanian/ keagamaan.

Hijrah Perantauan Rao ke Tanah Melayu - Ada empat gelombang perantauan orang-orang Rao ke Tanah Melayu iaitu:

a) Gelombang Pertama bermula pada tahun 500 Masehi hingga tahun 1400 masehi terdiri daripada golongan petani dan pemburu emas, kerana Tanah Melayu terkenal dengan Semenanjung emas.
.
b) Gelombang Kedua bermula pada tahun 1401 masehi hingga tahun 1600 masehi terdiri daripada golongan pedagang, terutamna pedagang emas, kain dan ubatan –ubatan terutama apabila Melaka menjadi Pusat Perdagangan Nusantara.

c) Gelombang Ketiga bermula pada tahun 1601 masehi hingga tahun 1800 masehi terdiri daripada tokoh agama, pemburu emas. bijih timah dan tentera upahan apabila dibuka Pusat Perdagangan di Pulau Pinang dan Singapura disamping Melaka.

d) Gelombang Keempat bermula pada tahun 1801 masehi hingga tahun 1900 masehi dengan perantauan beramai-ramai apabila orang-orang Minangkabau bekerjasama dengan Belanda membunuh orang-orang Rao terdiri daripada Anak-Anak Raja Rawa dari Rao-Mapat Tunggul, Padang Nunang dan Pagar Ruyung, bersama-sama hulubalang dan pahlawan, ulamak dan tokoh agama Islam terutama ketika era Perang Paderi di Sumatera Barat (1815 – 1833) termasuk pakar-pakar dalam mencari emas, bijih timah, hasil hutan, tukang-tukang rumah, tukang-tukang emas/besi, pesilat yang handal dan kebal dan dukun/bomoh yang handal.

Mengikut sejarah, suku kaum Rao yang mula-mula sekali berhijrah ke Tanah Melayu ialah golongan petani. Ini berlaku sekitar abad ke 5 Masehi. Faktor perdagangan bebas semasa zaman Kesultanan Melaka di abad ke 15 Masehi telah menggalakkan Iebih ramai kaum Rao merantau, berdagang dan bermastautin di Tanah Melayu. Kerancakan aktiviti perlombongan emas di abad 17 Masehi dan perlombongan bijih timah di abad 18 Masehi telah mendorong sebahagian besar para pelombong suku kaum Rao ke Tanah Melayu, melalul Negeri-negeri Selat (Singapura, Melaka dan Pulau Pinang).

Penghijrahan beramai-ramai suku kaum Rao ke Tanah Melayu berlaku semasa Perang Padri (1816-1833) di Indonesia semasa zaman pemerintahan penjajah Belanda. Sebahagian besarnya terdiri daripada golongan istana, para ulama, cendekiawan, panglima dan sebagainya. Berikut ialah proses penghijrahan Rao mengikut negeri:

Negeri Sembilan - Penghijrahan ke Seri Menanti di sekitar tahun 1773 dan melatul Sungai Ujong (Seremban) di sekitar tahun 1848)

Negeri Pahang - Penghijrahan melalui Sungai Hulu Pahang (Bera, Hulu Pahang, Kuata Lipis, Raub, Bentong) sekitar tahun 1857-1863. Antaranya Tengku Khairul Alam, Pakeh Khalifah Saka, Tujuan Saka dll.

Negeri Selangor - Penghijrahan melalui Sungai Klang (Hulu Langat, Hulu Selangor) dan Sungai Selangor (Kalumpang, Ampang, Kuala Lumpur, Gombak) sekitar tahun 1867- 1873. Pelopornya belum lagi dapat dikenalpasti.

Negeri Perak - Penghijrahan melalul Sungai Perak, Sungal Bidor dan Sungai Bernam (Teluk Intan, Kuala Kangsar, Larut, Kinta, Gopeng, Tapah, Kampar) sekitar tahun 1875-76. Antaranya Datuk Sakti Putih dll.

Negeri Kelantan - Catatan sejarah juga menunjukkan bahawa suku kaum Rao turut berhijrah ke Kelantan melalul Pahang, khususnya di Jajahan Pasir Mas melalui Sutan Amir Kaharuddin Budiman.

Takrifan Rao

"Istilah Rawa merujuk kepada satu etnik suku bangsa Melayu daripada perkataan Rao – sebuah kacamatan di dalam Kabupaten Pasaman di Sumatera Barat. Negeri Rao di sebelah utara berjiran dengan Tapanuli yang didiami Mandailing manakala di sebelah Selatan bersempadan dengan Sumatera Barat yang majoriti penduduknya; Minangkabau. Di sebelah barat Rao ialah Selat Mentawai dan timur pula bersempadan dengan Riau. Perkataan Rawa hanya popular di Makkah dan Malaysia. Ia kurang dikenali di Rao. Wan Mohd Shaghir Abdullah (Utusan Malaysia: 19.3.2007) berpendapat bahawa istilah Rawa di Malaysia bermula daripada Haji Abdullah Nordin al-Rawi yang mengasaskan syarikat percetakan dan penerbit Persama Press tahun 1921 di Lebuh Aceh, Pulau Pinang. Anak beliau bernama Haji Yusuf bin Abdullah tersohor dengan gelaran Yusuf Rawa (1922-2000) yang pernah menjadi wakil Malaysia ke Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB), sebagai duta ke Iran, Iraq, Afghanistan dan Turki. Pada asalnya disebut ar-Rawi mengikut istilah Arab yang bermaksud dibangsakan kepada ”Rao” tetapi lama kelamaan menjadi ar-Rawa yang menunjukkan asal seseorang itu iaitu dari Negeri Rao di Sumatera.

Namun demikian, tidak terdapat dalam sejarah yang menceritakan orang-orang Rawa yang menuntut atau menetap di lain-lain negeri atau negara menggunakan perkataan Rawa atau Rawi dicantumkan pada akhiran nama mereka. Penggunaannya juga dianggarkan bermula di sekitar awal abad ke-19 khususnya sewaktu aktiviti pengajian Islam sedang berkembang pesat di Makkah. Juga tidak dapat dipastikan penggunaan ar-Rawa pada akhir nama itu seseorang itu bermula di Tanah Melayu atau Makkah. Walau bagaimanapun, mengikut catatan sejarah terdapat seorang syeikh terakhir di Makkah di kalangan orang Rawa bernama Syeikh Jamal Rawa yang menggunakan perkataan tersebut".

Sumpahan KETURUNAN RAJA RAWA

Sumpahan bermula berabad-abad lalu apabila rakyat Pagar Ruyung di Bukit Siguntang, Sumatera mencari pengganti raja yang mangkat. Yang menjadi masalah dua putera almarhum telah lama meninggalkan negeri itu, seorang ke negeri China dan seorang lagi pergi ke Rom dan anakanda ketiga almarhum pula adalah seorang puteri yang di panggil PUTI.

Masa berlalu, raja-raja dilantik semuanya mati tidak serasi, melalui tukang tilik, rakyat diberitahu bahawa cuma ada seorang sahaja yang sesuai dinobatkan menjadi raja, iaitu anak anakanda kepada puteri, tapi masalahnya, anakanda puti juga perempuan. Lantas, rakyat bukit siguntang mengelilingi rumah puti untuk mengambil anakandanya menjadi raja, puti membantah namun tak diendahkan.

'Kalau kamu berkehendak juga, ada pantang larangnya; anak dan keturunan beta tidak boleh memijak tanah, naik buaian dan menyentuh bunga sampai umurnya 13 purnama. KALAU INGKAR, TUNGGULAH BALA DATANG MENIMPA. Juga bila raja kamu mangkat, hendaklah tujuh orang menadah air mandian mayatnya, tujuh lagi melompat keluar dari tingkap dan cacakkan tombak ditanah.

Rakyat semua bersetuju, lalu anakanda puti pun dijadikan raja. Adat dan pantang larang terus dipatuhi sehinggalah warga bukit siguntang dan darah daging puti yang berketurunan rawa berhijrah , termasuk ke semenanjung tanah melayu. "Kenalilah susur-galur nasab keturunan kamu, supaya membawa kepada silaturahim” (Hadith:. Imam Tarmizi Ibnu Kathir vol 4, ms.218)

http://terombarawa.blogspot.com/2008/12/sejarah-rawa-di-tanah-melayu.html

Alam Roh

Ketahui olehmu adalah hati itu terbahagi pada 2 bahagian:    
 
1. Dinamakan hati sanubari  2. Dinamakan hati nurani

Adapun hati sanubari itu hal keadaannya zulmah ertinya gelap tiada menerima sinaran nur atau cahaya ma'rifat, oleh kerana hati sanubari itu tempat dinaungi oleh Syaitan ditakluk dengan nafsu amarah yang sekeji keji dan seburuk buruk nafsu. Ianya termasuk didalam satu dari anggota tubuh badan yang kasar ini yang terletak disebelah kiri didalam dada. Hati sanubari adalah segumpal daging yang berbentuk bulat mamanjang dan mempunya'i tugas tugas tertentu yang didalamnya berongga dan ada terkandung darah hitam.

Hati inilah yang disabdakan oleh Nabi: ''Inni fi jasadabni adama mudghatan, fa'iza salakhat, jasadu kulluhu. wa iza fasadat, fasadal jasadu kulluhu, ala wahiyal qalbu.'

Sesunggunya didalam tubuh anak Adam ada segumpal daging, maka apabila baik daging itu baiklah seluruh anggota badannya, dan manakala rosak daging itu binasalah seluruh tubuh badannya, ialah hati sanubari dan hati sanubari ini tidak lain melainkan jantung. Maka adalah jantung ini sesuatu yang amat penting bagi kehidupan tubuh badan. Ianya diperolehi pada manusia dan haiwan. Adapun kejadiannya dicipta dari alam nyata atau disebut alam syahadah.

Adapun hati yang kedua dinama hati nurani. Hati inilah yang dapat menerima sinaran nur ma'rifat dari Tuhan, bahkan ialah yang menerima tajalli Tuhan, menanggung amanah dan rahsia Tuhannya, berpakaian dengan tujuh Sifat Maani. Ianya merupakan haqiqat Insan dan bersifat Ketuhanan. Hati Nurani ini bukanlah kejadian yang dijadikan dari alam nyata, bahkan dicipta ia dari unsur unsur alam ghaib. Oleh kerana itu Hati Nurani ini tiada boleh dilihat dengan mata kasar. Maka hati inilah yang di tuntut hadhir dalam sembahyang, menghadap Tuhannya, memuji dan bermohon kepada Tuhan. Hati Nurani inilah yang disebut Ruh Latifurabbaniyah. atau Hakikat Insan atau juga disebut diri sebenar diri. Oleh kerana ianya merupakan hakikat insan maka dinama'i pula dengan sebutan Insan Hakiki. Dialah semulia mulia dan setinggi tinggi kejadian dan sebaik baik makhluk sebagaimana
 
Firman Allah: "Laqad khalaknal insana akhsani taqwim"
Demi sebaik baik kejadian yang Kami jadikan ialah Insan.

Insan hakiki inilah yang di isyarat oleh Allah dengan firmanNya didalam Hadith Qudsi:

"Al Insanu Sirri Wa ANA sirruhu" Adalah Insan itu rahsiaKu dan Aku rahsianya.

Demikian dengan terang dan tegas sekali dinyatakan oleh Allah. Dengan itu jua bererti ianya menjadi dalil yang nyata bagi wujud Allah, suatu dalil yang paling hampir kepada Allah, dengan dialah dijadikan sebagai jalan yang paling dekat untuk mencapai ma'rifat kepada Allah sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi s.a.w. dengan sabdanya yang begitu jelas dan tegas: "Man arafa nafsahu, fakad arafa rabbahu" Barang siapa  mengenal akan dirinya dengan sebenar benar pengenalan, maka telah ia akan Tuhannya.

Didalam Hadith Qudsi pula Allah berfirman:"Man talaballahu bighairi nafsihi fakad dalla dalalan ba'idan". Barang siapa menuntut ma'rifat akan Allah dengan barang yang lain dari dirinya sendiri maka telah sesat ia dengan  kesesatan yang amat jauh.

FirmanNya lagi dalam Hadith Qudsi: "Man wasafallahu bisyai in min khalqihi fajad kafar, waman angkara ma wasafallahu bihi binafsidi fakad kafar."

Barang siapa mensifatkan Allah dengan sesuatu daripada barang yang dijadikan Allah, maka telah kafirlah ia dan barang siapa yang ingkar pada yang telah disifatkan Allah dengannya dengan Zatnya maka telah kufurlah ia.

Ketahui olehmu adalah Hati Nurani atau alam Ruh Latifurr Rabbaniah itu alam latif dan tiada padanya rupa dan warna yang dapat dilihat dengan mata kasar. Tuhan telah menjadikannya terdahulu dari kejadian jasad dua ribu tahun lamanya. Adapun pada istilah Tahqiq bahawa adalah Ruh itu beberapa namanya,

1. Ruhul Quddus 2. Ruh Idhafi  3. Ruhani  4. Ruhul Hayat  5. Ruhul Amar  6.  Ruh Jamadi
7. Ruh Nabati 8. Ruh Haiwani  9. Ruh Insani 10.Ruh Kamalat  11. Ruhul Ajsad

Adapun yang bernama Ruh Nabati ialah tatkala darah yang setitik maka pada alam kabir iaitu segala tumbuh tumbuhan.Ruh Jamadi itu tatkala daging yang seketul/segumpal.Maka pada Alam Kabir ialah segala batu batu dan kayu kayan. Ruhani iaitu tatkala sudah dimasukkan nyawa padanya. Ruh Haiwani iaitu tatkala berhajat kepada makan dan minum dan jimak, maka pada alam kabir ialah segala binatang. Ruh Insan iaitu tatkala sudah zahir dari perut ibu.Ruh Kamalat iaitu tatkala bersuara menangis pada pertama pertama jadi.Maka adalah perbezaan roh dan nafas itu adalah roh itu batin dan nafas itu zahir. Maka nafas itu adalah kezahiran roh atau kenyataannya yang juga disebut kelakuan atau sifatnya.

Yang demikian tertib Allah s.w.t. yang amat halus pekerjaanNya lagi bijaksana, dengan IradatNya menggerakkan Ruhul Amar dan Ruhul Amar menggerakkan Ruhul Hayat dan Ruhul Hayat menggerakkan Nafas dan Nafas pula menggerakkan Jasad. Maka zahirlah kelakuannya pada Jasad.
 

Friday 26 June 2009

GALUR MELAYU PELBAGAI DI TANAH MELAYU

Orang Melayu di Semenanjung Malaysia terbahagi kepada 2 kumpulan iaitu Melayu Anak Dagang dan Melayu Semenanjung.

Istilah 'Melayu Anak Dagang' merujuk kepada suku-suku pribumi Nusantara yang bukan penduduk asal Semenanjung. Mereka berasal dari Kepulauan Indonesia, Champa, Filipina dan Brunei.

Melayu Anak Dagang merangkumi:-

* Suku Aceh * Suku Banjar * Suku Batak-Mandailing * Suku Boyan (Bawean) * Suku Bugis
* Suku Cham * Suku Jawa * Suku Kerinci * Suku Minangkabau * Suku Rawa * Suku Yunnan
* Suku Jambi * Suku Riau

'Melayu Anak Dagang' tidak dianggap sebagai pendatang di Semenanjung kerana penduduk Nusantara menganggap bahawa Kepulauan Melayu adalah hak milik bersama. Itu adalah sebab utama mengapa kerajaan Malaysia memberi mereka status Bumiputra.

Istilah 'Melayu Semenanjung' pula merujuk kepada suku-suku pribumi Nusantara yang merupakan penduduk asal Semenanjung. Melayu Semenanjung merangkumi:-

Suku Kedah Tua
- suku pribumi Semenanjung yang mendirikan Kerajaan Kedah Tua pada awal abad ke-4 Masihi.
- merujuk kepada orang Melayu di Kedah, Pulau Pinang, Perlis, utara Perak dan selatan Thai (Satun, Trang, Phuket dll)

Suku Perak
- suku pribumi Semenanjung yang mendirikan Kerajaan Gangga Negara pada awal abad ke-2 Masihi.
- merujuk kepada orang Melayu di Perak (bahagian tengah dan selatan)

Suku Kelantan dan suku Patani
- dua suku pribumi Semenanjung yang mendirikan Kerajaan Langkasuka pada abad pertama atau ke-2 Masihi.
- merujuk kepada orang Melayu di Kelantan, Patani dan wilayah-wilayah lain di selatan Thailand.

Suku Terengganu
- suku pribumi Semenanjung yang asalnya dari keturunan penduduk Kerajaan Langkasuka yang berhijrah ke Terengganu (Terengganu adalah sebahagian jajahan Langkasuka)
- merujuk kepada orang Melayu di Terengganu.

Suku Pahang
- suku pribumi Semenanjung yang mendirikan Kota Muang Pahang - salah satu kota Naksat (Naksat city) di bawah pemerintahan Langkasuka
- Kota Muang Pahang masih tidak ditemui sehingga sekarang.
- merujuk kepada orang Melayu di Pahang.

Suku Johor
- suku pribumi Semenanjung yang mendirikan Kota Gelanggi atau Perbendaharaan Permata pada 650 tahun Masihi.
- Kota Gelanggi adalah dipercayai ibu kota pertama empayar Srivijaya sebelum berpindah ke Palembang, namun kota tersebut masih tidak ditemui.
- merujuk kepada orang Melayu Jati di Johor.


Orang Melayu, kebudayaan Melayu dan Bahasa Melayu (termasuk Bahasa Indonesia) berasal dari Semenanjung. Srivijaya juga bermula di Semenanjung dan bukannya Sumatera.
Siapa yang mendirikan Kerajaan Langkasuka, Gangga Negara, Kedah Tua, Kota Gelanggi, Kota Muang Pahang, Chih-Tu dan Ligor? Penduduk Indonesia berhijrah dari Dataran Yunnan ke Kepulauan Indonesia melalui Semenanjung Malaysia.


Daripada : http://malay.cari.com.my

Keris dan Khadam

Ada beberapa fakta menarik tentang keris dan kadam (pendamping iaitu makhluk halus jin):
Jika pemilik keris tidak mengamalkan berlangir keris dengan limau, keris dalam simpanannya akan 'hilang' kesaktian tetapi bagi jin (kadam) sesetengah keris, mereka akan 'menyerang' pemilik atau keluarga. Contohnya, isteri pemilik bermimpi perutnya ditendang (ketika itu dia mengandung 7 bulan). Esoknya, bayinya meninggal (gugur). Atau mimpi makan, esoknya orang itu akan berasa kenyang.

Jika hendak membuang kadam dari keris (istilah keris "hidup"), rendamkan keris di dalam air Yaasin atau air bercampur cuka.

Antara barangan/senjata tradisional yang diketahui mempunyai kesaktian (kuasa luarbiasa di luar kekuasaan manusia) ialah keris, tombak, lembing, akik, buntat, azimat dan wafa' (lakaran). Bila menggunakan minyak pengasih, jin akan mengaburi mata kita supaya kita pandang orang itu cantik atau menawan sentiasa.

Oleh kerana keris diperbuat dari pelbagai jenis logam, logam mempunyai aura dan bila pemujaan dilakukan ke atas keris, misalinya dibelai, asap dengan kemenyan dllc, makhluk halus akan 'muncul' sebagai penjaganya (kadam). Semangat (mayo) akan segar bila keris sentiasa dimandi dengan air bunga, diasapkan dan baca Ayat2 Al-Quran yang ada kaitan dengan besi.

Pembuat keris melalui proses ini sebelum mula membuat keris:
* Pilih besi yang bersemangat 'berani' (untuk keris digunakan dalam pertarungan)
* Memilih hari / ketika berdasarkan nafas
* Berpuasa
* Sembahyang hajat
* Mohon pada Ilahi supaya berkat
* Pembuat dalam keadaan sihat, pakaian bersih dan bercorak sesuai
* Ketika menempa, berzikir ingat Allah SWT setiap masa. Dengan itu, setiap 'hentaman' ke atas keris (ketika dibentuk) mengandungi ribuan 'doa' / zikir si pembuat.

Keris mungkin mengambil masa tujuh tahun untuk ditempa kerana hanya ada satu atau dua hari saja dalam setahun di mana keris boleh dibuat. Itupun, dalam sehari, mungkin ada 30 minit yang sesuai. Pemilihan hari bergantung pada (sukatan) numerologi dan kemahiran lainnya.

www.rajamenagis.com

Tuesday 23 June 2009

Sejarah Urang Minang - Bhg II

Pusat kerajaan kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat Minangkabau yang kita amalkan sampai sekarang. Walaupun telah bergnati musim adat Minangkabau tetap terpakai disebut; Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara putra-putri Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri. Tahun 1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni adik kandung dari Datuk Suru Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang ibu. Tahun 1149, Sultan sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak : 
  1. Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)
  2. Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
  3. Puti Reno Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu
  4. Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
  5. Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)

 Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito. Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo.  Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya. Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibun dan dari ibu diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi. Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku. Pada tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang mengambil alih kerajaan Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama Adityawarman. Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan Majapahit. Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka tahun 1295, Puti Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya.  Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, memanglah Datuk Ketumanggungan mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perparih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun. Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang diplomat utusan dari kerajaan Cina (khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrangyang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya.  Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Gahah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali. Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap Minangkabau. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya. Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu. Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.  (Sumber : Kerajaan Minangkabau – Jamilus Jamin) 

Ketahuilah akan kalian sejarah niniak kito - Bhg I

 1. Maharaja yang Bermahkota  

Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut.  Ceti Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa.  Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan “camin taruih” untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi.  Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang. 

2. Galundi Nan Baselo 

Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat.  Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai.  Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali.  Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”.  Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan “Si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh.  Keturunan “Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.   

3. Kedatangan Sang Sapurba  

Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “Datanglah ruso dari Lauik”. Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam.  Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun. Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi.  Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.  

 4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang  

Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang” tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb. Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih bernama Padang Panjang.  Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat “penghulu” dan bergelar “Datuk”. · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan. 

5. Sikati Muno 

Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung Merapi. Rakyat sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”, keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga.  Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.   (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau) 

Monday 22 June 2009

Rumah Gadang Niniak kito




Ikhsan dr penyumbang2 di internet

Masjid/Surau lama di tanah Minang

Suku Asal Urang Minang

Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan adat Minang yang berlandaskan Islam.

Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.

Di masa awal terbentuknya budaya Minangkabau, hanya ada empat suku dari dua lareh (laras) atau kelarasan . Suku-suku tersebut adalah:

Suku Koto - Suku Piliang - Suku Bodi - Suku Caniago

Dan dua kelarasan itu adalah :

  1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan - menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik
  2. Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang - menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis

Dalam masa selanjutnya, munculah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia nan Bamego-mego. Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

Suku Tanjung - Suku Sikumbang - Suku Sipisang - Suku Bendang - Suku Melayu (Minang) -  Suku Guci - Suku Panai - Suku Jambak - Suku Kutianyie/Koto Anyie - Suku Kampai - Suku Payobada - Suku Pitopang/Patopang - Suku Mandailiang - Suku Mandaliko - Suku Sumagek - Suku Dalimo - Suku Simabua - Suku Salo - Suku Singkuang/Singkawang